SEJARAH SINGKAT
AWAL DINAR DIRHAM DI NUSANTARA
APAKAH DINAR & DIRHAM ITU ?
KEGUNAAN DINAR & DIRHAM
MENUNAIKAN ZAKAT
Dirham Dinar dalam Lintas Sejarah Indonesia
Enam Abad Dinar Dirham Made in Indonesia
Sufyan al Jawi - Numismatik Indonesia
Sebagian besar dari kita mungkin tak pernah tahu kalau Dinar dan Dirham pernah dibuat dan berlaku di Indonesia sebagai mata uang resmi.
Ya, sejak abad ke-14 nenek moyang kita telah akrab dengan kedua jenis mata uang ini. Dinar dan Dirham pernah mendominasi pasar-pasar di sebagian besar Nusantara, antara lain di Pasai, Malaka, Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Gowa, dan Kepulauan Maluku.
Dalam buku Ying Yai Sheng Lan karya Ma Huan, sang juru tulis dan penterjemah Laksamana Muslim Cheng Ho dari Cina saat muhibah ke Sumatera Utara (1405 - 1433), disebutkan bahwa mata uang Samudera Pasai adalah Dinar emas dengan kadar 70 persen dan mata uang keueh dari timah (1 Dinar = 1.600 keueh). Pasai telah mencetak Dinar pertamanya pada masa Sultan Muhammad (1297-1326) dengan satuan mas yang sepadan dengan 40 grains atau 2,6 gram.
Pada masa Sultan Ahmad Malik Az-Zahir koin Dinar lebih dikenal sebagai Derham mas, dicetak dalam dua pecahan yaitu Derham dan setengah Derham (1346-1383). Setelah Aceh menaklukkan Pasai (1524) tradisi mencetak Derham mas menyebar ke seluruh Sumatera, bahkan semenanjung Malaka. Derham ini tetap berlaku sampai bala tentara Nippon mendarat di Seulilmeum, Aceh Besar pada tahun 1942. Sampai hari inipun di Sumatera Barat masih dijumpai pemakaian satuan mas (1 mas = 2,5 gram) sebagai unit jual beli, terutama untuk tanah.
Dinar juga dibuat oleh kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, pertama kali pada tahun 1595, pada masa Sultan Alaudin Awwalul Islam (1593-1639) dengan Dinar seberat 2,46 gram emas. Dinar Gowa yang paling banyak beredar adalah Dinar Sultan Hasan Al-din yang bertuliskan huruf Arab: Khada Allah Malik Wa Sultan Amin artinya Pejuang Allah Kerajaan Sultan Amin. Yang menyebar dari Ternate, Tidore, Minahasa, Butung, Sumbawa, Gowa Talo, bahkan Papua. Koin ini beredar dari tahun 1654-1902. Saat ini, seperti di Sumbar, tradisi jual beli dengan satuan mas juga masih berlaku di Sulawesi Selatan.
Di Jawa Dinar dan Dirham dicetak oleh Kesultanan Mataram pada tahun 1600-an, kemudian oleh VOC sejak tahun 1744 di percetakan uang Batavia yang di desain oleh Theodorus Justinus Rheen. Berdasarkan perjanjian VOC-Mataram, Dinar dicetak seberat 16 gram emas dengan kadar 75 persen dan dinamakan Mahar, sedang Dirham dicetak seberat 6,575 gr dan, dalam sebutan rupiah, dicetak seberat 13,15 gr. Dirham dan rupiah terbuat dari perak dengan kadar 79 persen.
Ini yang menarik: pada kedua sisi koin tercetak Derham min Kumpani Welandawi dan Ila djazirat Djawa al kabir yang ditulis dengan huruf arab, yang artinya Dirham dari Perusahaan Belanda untuk pulau Jawa Besar. Adapun uang recehan VOC dinamakan doit Jawa (Duit VOC). Setiap 80 duit sama dengan 1 Rupiah (setara 2 Dirham). Lalu tiap 16 Rupiah disebut sebagai satu mahar. Selain itu di Jawa juga dibuat pula derham Inggris (1813-1816) dengan tulisan Jawa kuno: Kempni Hinglis, Jasa hing sura-Pringga. Di baliknya tertulis dengan huruf Arab Melayu: Hinglis, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba, dar dhazirat Djawa di desain oleh Johan Anthonie Zwekkert.
Kedua jenis Derham kompeni ini baik buatan VOC maupun EIC beredar sampai tahun 1860, yaitu setelah berdirinya De Javasche Bank di Batavia pada tanggal 10 Oktober 1827, ketika Pemerintah Hindia Belanda telah mengimpor Gulden secara besar-besaran dari Eropa. Artinya pihak penjajah pun mengakui dan memproduksi Dinar dan Dirham sebagai mata uang yang sah selama 116 tahun, sementara Gulden sendiri baru dibuat oleh penjajah Hindia Belanda setelah tahun 1826 di Negeri Belanda. Jadi, sejak berdirinya VOC, Gulden kalah bersaing melawan real Mexico dan Derham Nusantara.
Setelah perang Jawa atau perang Diponegoro (Mei 1825-Maret 1830), kondisi keuangan pemerintah Hindia Belanda morat marit. Perang ini menelan biaya lebih dari 20 juta Gulden atau setara 40 juta Derham Jawa. Guna memulihkan keuangannya, penjajah ini menarik seluruh Derham kompeni, namun penduduk pribumi enggan menukar Derham mereka dengan uang kertas berjamin tembaga (kopergeld), sehingga masa penukaranpun menjadi molor selama 28 tahun (1832-1860)!. Upaya lainnya dari VOC untuk mengisi kekurangan Kas Negara adalah diterapkannya sistem tanam paksa (Cultur Stelsel) oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch selama kurun 1863-1919.
Pada tahun 1873, Hindia Belanda mulai melakukan misi penaklukan Aceh, dan terjadilah perang panjang yang terkenal dengan nama Perang Aceh, Prang Gompeuni, Prang Sabi dan Prang Kaphe (1873-1942). Belanda belum dapat menguasai Aceh sepenuhnya. Secara de jure gulden adalah satu-satunya mata uang yang sah. Tapi secara de facto Derham mas Aceh adalah satu-satunya mata uang yang dapat diterima oleh penduduk Aceh, bahkan berlaku pula di Sumatera Barat dan Deli!
Selanjutnya, ketika berkuasa, pemerintah Dai Nippon terpaksa menerapkan lebih tegas UU No. 2 tanggal 8 Maret 2602 (tahun Jepang Kooki atau tahun 1942) tentang mata uang. Semua mata uang dengan digantikan oleh uang kertas Dai Nippon! Ketika Indonesia merdeka, pada tanggal 26 Oktober 1946, Presiden Sukarno dan Menkeu Sjafroedin Prawiranegara menerbitkan UU No. 19 tentang penerbitan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) dengan dasar 10 rupiah = 5 gr emas murni.
Rakyat menyambut antusias atas terbitnya rupiah republik ini. Sebuah harapan besar akan masa depan yang cerah. Meski kakek nenek kita harus rela dijatah hanya boleh memegang 50 rupiah setiap keluarga, untuk kemudian rupiah Jepang dimusnahkan oleh Pemerintah. Tetapi pada prakteknya dasar hukum UU No. 19 tersebut telah dilanggar sendiri oleh Pemerintah kita sehingga kita mendapati rupiah seperti sekarang ini. Tak ada jaminan emasny alagi. Dan harga emas, pada pertengahan tahun 2009, ini bukan lagi Rp 2/gram, tetapi di atas Rp 320.000/gram, yang artinya nilai rupiah kita dibuat merosot lebih dari 160.000 lebih rendah!
Jelas Dinar-Dirham pernah berjaya selama lebih dari 600 tahun (1302-1942), tak hanya di Aceh dan sebagian Sumatera tetapi juga di Sulawesi Selatan dan sebagian daerah di Jawa Timur. Maka, peredaran kembali Dinar Dirham di wilayah Indonesia sekarang ini, bukanlah sesuatu yang asing dan aneh.
*Sofyan Al Jawi numismatis dan penulis buku Kemilau Investasi Dinar DirhamDirham Dinar dalam Lintas Sejarah Indonesia
Nurman Kholis - Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
Lalu lintas uang di Indonesia sudah ada sejak abad ke-4 Masehi sebelum kedatangan kebudayaaan Hindu.
Pada zaman itu uang stempel dari pengusaha diterima sebagai jaminan bahan pembuatan uang yang secara intrinsik sering berada di bawah nilai nominalnya. Sejak datang kebudayaan Hindu, koin emas dan terutama koin perak mulai diberlakukan. Selain mata uang emas juga beredar mata uang gobog yang terbuat dari kuningan dan perunggu.
Peredaran uang emas juga berlaku di pulau Sumatra, dijelaskan dalam buku Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua yang ditulis oleh Uli Kozok. Sedangkan Claude Guillot dalam buku Barus Seribu Tahun Yang Lalu menyatakan bahwa karena sebagai penghasil emas, maka uang emas dan juga uang perak diberlakukan sebagai alat tukar di Barus. Pada perkembangan selanjutnya, hubungan Barus dengan Timur Tengah yang erat sejak abad ke-14 membuat kota ini menjadi salah satu pusat Islam yang pertama dan paling penting di Sumatra.
Pada zaman itu, berdiri kesultanan Islam pertama di Nusantara yang dipimpin oleh Malik al-Saleh dan selanjutnya digantikan oleh puteranya, Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326). Ia pun mempelopori pencetakan uang emas berornamen Islam yang pertama di Nusantara. Pada salah satu koin tersebut tertulis nama "Muhammad Malik al-Zahir". Selain sebagai alat tukar, pemberlakuan dinar dan dirham ini merupakan pelaksanaan ajaran Islam sebagaimana dijelaskan dalam berbagai kitab kuning.
Kedua mata uang ini, kemudian hilang dari peredaran dengan diberlakukannya uang kertas sejak abad ke-20. Nilai mata uang tiap negara selanjutnya distandarkan kepada dolar AS seiring didirikannya Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1944. Keberadaan kedua lembaga ini membuat Indonesia semakin terjerumus ke dalam krisis ekonomi. Sebab, meski secara politis merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 namun secara ekonomis semakin terjajah karena dalam perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda tahun 1945 telah disepakati persetujuan pada Konferensi Meja Bundar di Denhag Belanda. Salah satu hasil persetujuan dalam konferensi ini adalah berdirinya Republik Indonesia telah mewarisi hutang sebanyak 1,130 juta Dolar Amerika dari Pemerintah Hindia Timur Belanda. Sejak 1950, pemerintah Indonesia telah memiliki dua jenis utang, yaitu utang luar negeri warisan Hindia Belanda senilai 4 miliar Dolar AS dan utang luar negeri baru sebesar Rp 3,8 miliar yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Utang luar negeri Indonesia kini sebesar Rp 1.667 triliun, sehingga setiap orang Indonesia menanggung utang Rp. 7,5 juta.
Pasca Krismon 2007
Pascakrisis moneter 1997, ketidakadilan dalam pemberlakuan uang kertas dirasakan berbagai kalangan. Setahun kemudian, terbit dua buah buku terjemahan yang berisi gugatan terhadap uang kertas, memanadai awal kembalinya mata uang emas di Nusantara. Buku-buku tersebut ditulis oleh murid-murid Syekh Abdal Qadir al-Murabi as-Sufi, yaitu Dajjal-The Antichrist karya Ahmad Thomson yang diterjemahkan oleh Ahmad Iwan Adjie dkk menjadi Sistem Dajjal dan buku Jerat Utang IMF? yang ditulis oleh Abbdur-Razzaq Lubis (murid Syekh Abdal Qadir di Malaysia) dkk, dengan pengantar dari Zaim Saidi.
Pada 1999, Ahmad Iwan Ajie bersama kedua temannya Dwito Hermanadi dan Hendri Firman berkunjung ke Maroko untuk bertemu Syekh Abdal-Qadir as-Sufi yang saat itu tinggal di sana. Atas pengajaran Syekh Abdal Qadir, sekembalinya ke Indonesa ketiganya pun kemudian mencetak dinar dan dirham. Sejak itu, ketiganya dan Zaim Saidi, Direktur Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) saat itu, mengadakan sosialisasi tentang dinar dan dirham dalam berbagai forum.
Atas prakarsa mereka, Adi Sasono, yang saat itu Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melakukan kunjungan dan bertemu dengan Syekh Abdal Qadir As-Sufi di Cape Town Afrika Selatan pada 2002. Mantan Menteri Koperasi dan PKM Kabinet Reformasi ini selanjutnya mengagas diselenggarakannya Silaturrahmi Kerja Nasional (Silaknas) ICMI pada 24 s.d 26 Januari 2003. Dalam Silaknas tersebut berisi program untuk memasyarakatkan penggunaan dinar dan dirhami.
Kegiatan ini dikoordinir oleh Sugiharto dan acara pembukaannya dihadiri oleh Jusuf Kalla (kini Wakil Presiden Indonesia). Karena itu, saat menjabat Menteri Negara BUMN Kabinet Indonesia Bersatu, Sugiharto mengusulkan dinar dan dirham digunakan sebagai mata uang ASEAN. Hal ini ia sampaikan pada pembukaan Konferensi Uang Logam ASEAN di Jakarta, 19 September 2005ii. Sedangkan pada 2007, Wapres Jusuf Kalla mengusulkan agar dinar menjadi standar dalam penentuan harga minyak internasional. Hal ini ia sampaikan setelah bertemu Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad. Ia kemudian mengatakan kepada para wartawan, "gagasan Iran mengganti dolar AS dengan euro karena lebih stabil. Kenapa nggak dengan dinar saja yang lebih memiliki value."
Secara praktis upaya pencetakan dan penyebarluasan dinar dan dirham di Indonesia terus dilakukan oleh Zaim Saidi dengan mendirikan wakala (agen pertukaran) dinar dan dirham. Untuk memperdalam ilmu tentang kedua mata uang ini, dari pertengahan 2005 hingga pertengahan 2006, ia berguru kepada Syekh Abdal Qadir As-Sufi dan Umar Ibrahim Vadillo yang tinggal di Afrika Selatan. Sekembalinya ke Indonesia, ia semakin giat mensosialisasikan gerakan penggunaan kembali kedua mata uang ini. Zaim Saidi yang pernah jadi wartawan Republika juga menggagas pemberitaan kurs dinar terhadap rupiah. Sejak 14 Juli 2006, harian ini pun setiap hari memberitakan kurs kedua mata uang emas dan kertas tersebut. Selain itu, ia juga terus memperjuangkan pendirian wakala, agen pertukaran dinar dan dirham yang telah ia rintis sejak 1999. Kini, sekitar 60-an wakala tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Transaksi Nyata
Salah satu transaksi jual beli dengan dinar sebagai alat tukar sebagaimana terjadi pada tanggal 7 April 2009. Saat itu, Ahmad Watik Pratiknya menyerahkan koin dinar emas sebagai bagian pembayaran pembuatan situs The Habibie Center kepada Riki Rokhman.iii Sebulan kemudian transaksi yang lebih banyak berlangsung pada Festival Hari Pasaran yang digelar di Pondok Pesantren Daarut Tauhid (DT) pimpinan KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), di Bandung pada tanggal 10 Mei 2009. Dalam acara ini terjadi transaksi 65 Dinar Emas dan lebih dari 400 Dirham Perak dengan aneka komoditas antara 35 orang pedagang dengan para pembeli.
Festival Hari Pasaran Dinar Dirham Nusantara juga diselenggarakan di Lapangan Parkir Masjid Salman ITB, Jl. Ganesha No.7 Bandung pada 19-21 Juni 2009. Lebih dari 40 pedagang berpartisipasi dan terjadi transaksi 350 Dirham dan 75 Dinar.
iICMI Usulkan Penggunaan Dinar dan Dirham Bertahap. Republika, 28 Januari 2003
iiMenneg BUMN Usulkan Dinar dan Dirham. Kompas, 20 September 2005
ii"The Habibie Center Bertransaksi Dinar" http://www.jawaradinar.com, diakses tanggal 5 Agustus 2009.