Depk, 23 Mei 2013
BBM Turun 35 Persen
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara

Memahami nilai BBM yang sesungguhnya

Rencana pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) masih tertunda. Karena Presiden Soesilo Bambang Yoedoyono (SBY) minta persetujuan DPR untuk mengaitkan kenaikan harga BBM dengan kompensasi bantuan tunai langsung (BTL) dan skema lainnya. Para politisi di DPR, kecuali dari Partai Demokrat (PD) dan Partai Amanat Nasional (PAN), tampak menyanderanya karena mengendus skema BTL ini akan menjadi politik uang terselubung.

Rencana pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) masih tertunda. Karena Presiden Soesilo Bambang Yoedoyono (SBY) minta persetujuan DPR untuk mengaitkan kenaikan harga BBM dengan kompensasi bantuan tunai langsung (BTL) dan skema lainnya. Para politisi di DPR, kecuali dari Partai Demokrat (PD) dan Partai Amanat Nasional (PAN), tampak menyanderanya karena mengendus skema BTL ini akan menjadi politik uang terselubung.

Maklum Pemilu 2014 sudah menjelang. Pengalaman 2008 lalu menunjukkan program BTL sangat menguntungkan partai berkuasa (PD), hingga menang Pemilu 2009. Pemberian uang tunai kepada rakyat miskin terbukti mendongkrak popularitas PD dan SBY. Padahal itu uang APBN. Kini partai-partai lain nampak tidak rela hal serupa terjadi.

Tarik-ulur kenaikan harga BBM dan program BTL ini membuat orang terlupa pada masalah mendasarnya: apakah benar BBM harus naik? Perdebatan soal ini dianggap sudah selesai. Kenaikan harga BBM sudah dianggap sebagai keharusan. Suara-suara yang menolaknya diabaikan. Padahal kalau kita mau keluar dari kelaziman, berpikir out of the box, harga BBM ini bukan saja tak perlu naik, bahkan bisa turun dalam jumlah yang signifikan. Selama ini kita terpaku pada ilusi bahwa harga-harga, termasuk BBM, naik karena inflasi. Ini kebohongan. Yang sebenarnya terjadi adalah kemerosotan nilai uang kertas akibat terus-menerus digelembungkan. Yang paling bertanggungjawab dalam hal ini tentu saja adalah perbankan (Bank Indonesia dan perbankan komersial lainnya). BI tidak mampu menjalankan tugasnya mencegah inflasi, tepatnya depresiasi rupiah, yang terus-menerus.

Bukti yang sangat meyakinkan disajikan di sini, dengan melihat perbandingan harga minyak mentah Indonesia, dalam dolar AS (USD) dan Dinar emas (Islamic Gold Dinar, IGD). Perhitungan dibuat untuk kurun sepuluh tahun terakhir (2004-2013). Terlihat bahwa harga minyak mentah dalam USD selalu naik, kecuali dalam beberapa periode yang sempat turun, dalam rentang antara 37 USD/barel (2004) dan 115 USD/barrel (angka tertinggi 2012). Mari kita periksa selama satu dekade penuh.


Harga minyak mentah (Indonesia) terus mengalami kenaikan dalam sepuluh tahun terakhir, dari 37.6 USD (2004) jadi 53.4 USD (2005), ke 64.29 USD (2006), lalu 72.36 USD (2007), terus 96 USD /barel (2008). Dua tahun berikutnya (2009-2010) turun ke 61,6 USD, naik lagi 79,4 USD. Dua tahun terakhir bertengger stabil di sekitar 112 USD. Saat ini turun ke 101 USD. Secara kasar kenaikan dari 2004-2012 adalah 198 persen (dari 37.6 ke 112 USD/barel). Secara flat kenaikan rata-rata harga minyak mentah Indonesia per tahunnya (dalam USD) adalah sekitar 25 persen/tahun.

Sementara itu, kurs IGD dari tahun ke tahun terus-menerus naik. Pada 2004 satu IGD adalah 54 USD, menjadi 60 USD (2005), berikutnya jadi 85 USD (2006), lalu 95 USD (2007), naik ke 142 USD (2008), terus jadi 153 USD (2009). Mulai 2010 kenaikan kurs IGD terhadap USD semakin tinggi lagi menjadi 181 USD/IGD, lalu 231 USD/IGD, menjadi 254 USD/IGD (2012). Dalam beberapa pekan terakhir April 2013 ini IGD anjlok terhadap USD menjadi 229 USD/IGD.

Jadi, IGD terhadap USD dalam satu dekade ini mengalami apresiasi cukup besar, yaitu 200 persen (dari 54 USD jadi 254 USD/IGD) atau 25 persen/tahun. Ini hampir sama persis dengan kenaikan harga minyak mentah Indonesia di atas, yaitu 25 persen/tahun! Dan perhatikan harga minyak mentah, dalam periode yang sama, dalam IGD, nilainya pun stabil atau turun.

Pada 2004 harga minyak mentah adalah 0.7 IGD/barel. Sesudah mengalami kenaikan lumayan tinggi setahun kemudian (2005), 28 persen, jadi 0.9 IGD/barel, kembali turun 11 persen (2006) ke 0.71 IGD /barel. Tahun berikutnya, 2007, yang disebut-sebut sebagai �tahun krisis minyak�, harganya sempat naik sekitar 36 persen (menjadi 0,96 IGD/barel, 2007), tapi kembali turun di bawah harga 2004, yaitu 0,67 IGD/barel (2008). Dalam tiga tahun berikutnya (2009-2011) kembali naik secara drastis, sekitar 81 persen (dari 62 ke 79 ke 111 USD AS/barel).

Dalam dua tahun belakangan harganya stabil pada angka 111-112 USD/barel, meski sempat menyentuh 115 USD/barel. Tetapi, dalam IGD, sejak 2009-2012 ini, tidak ada kenaikan, dan stabil di sekitar 0,44 IGD/barel. Bahkan ketika harga emas dunia turun drastis dalam akhir kwartal pertama 2013 ini, yang mengakibatkan IGD juga turun sekitar 10 persen, dari 254 USD ke 229 USD, harga minyak mentah kita tetap 0,44 IGD. Sebab, dalam USD, harga menyimak mentah juga turun sekitar 10 persen, dari 112 ke 100 USD/barel.

Masalah pada Uang Kertas
Dari fakta dan data di atas kita harus memahami bahwa persoalan sesungguhnya bukan terletak pada komoditi itu sendiri, baik itu BBM atau pangan atau komoditi apa pun lainnya, melainkan pada manipulasi yang merusak tatanan alamiah. Kenaikan harga sumber daya alam (SDA), atau inflasi secara umum, tidak pernah bermula dari SDA itu sendiri, melainkan dari komodifikasinya dan alat transaksi yang digunakan sebagai penukar komoditi tersebut, yakni uang fiat (kertas) yang tak bernilai. Sistem mata uang kertas sebagai �pengganti� komoditi, yang tidak lain merupakan manipulasi atau pengelabuan atas nilai atau harga riil suatu komoditi, bisa terus-menerus dicetak secara tak terbatas. Sementara SDA terbatas jumlahnya. Uang kertas tak lain adalah instrumen perampasan harta seluruh masyarakat oleh segelintir orang. Bentuknya depresiasi mata uang kertas yang terus-menerus. Artinya nilai kerja, nilai harta masyarakat, terus-menerus disedot melalui inflasi/depresiasi ini.

Menaikkan harga BBM hanya membuat kita masuk lebih jauh ke dalam perangkap ilusi uang kertas. Dengan kembali menggunakan Dinar emas dan Dirham perak kita bisa hentikan depresiasi, berarti tidak ada kenaikan harga-harga barang dan jasa. Dalam hal harga BBM, dalam kurun satu dekade terakhir sebagaimana ditunjukkan di atas bahkan turun. Nilai penurunannya lebih dari 35 persen!