Jakarta, 12 Agustus 2013
Firman Pertama
Nurman Kholis - Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
Pada peringatan Nuzulul Quran, para penceramah biasanya mengutip firman Allah yang pertama kali disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, yaitu iqra. Perintah membaca ini juga telah tertanam sejak masa kanak-kanak seperti melalui Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA).
Pada 2001 lalu, saya duduk bersebelahan di dalam bis dengan seorang kakek bernama Baharuddin bin Ahmad bin Musanif. Sang kakek yang saat itu berusia 67 tahun itu pernah mondok di Tebu Ireng dan Gontor dan meraih Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia (UI) dan Master Ilmu Ekonomi dari Oxford University. Dia menempuh SD dan SMP di Amerika. Saat itu dia bertanya, "Dulu Nabi Adam AS dan Siti Hawa, manusia pertama, mengapa keduanya dikeluarkan dari surga?" Saya pun menjawab, "Karena tergoda oleh setan."
Sang kakek selanjutnya mengatakan, "Agar Nabi Adam dan Siti Hawa serta seluruh keturunannya dapat pulang kembali ke surga, Allah memerintahkan seluruh manusia untuk berlindung kepada-Nya dari setan yang terkutuk. Jadi, firman Allah yang pertama untuk Nabi Adam AS dan Siti Hawa, setelah diturunkan ke dunia ini adalah perintah mengucapkan a'udzu billahi min al-syaithan al- rajiim.
Saya lantas berusaha mencari hadis dan buku-buku sejarah terkait perintah mengucapkan a'udzu billahi min al-syaithan al- rajiim sebagai firman Allah yang pertama kali disampaikan kepada Nabi Adam AS sejak diturunkan ke dunia ini. Namun, hingga kini belum saya peroleh. Saya pun berusaha mencari hadis terkait peristiwa penyampaikan firman Allah pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW melalui internet hingga diperoleh beberapa hadis. Salah satunya dari kitab Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Adhim wa as-Sab'i al-Matsani karya Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini yang mengutip hadis dari Ibnu Abbas. Ia berkata, "Yang pertama diturunkan oleh Jibril AS kepada Nabi SAW adalah ia berkata, 'Hai, Muhammad ista'idz! (mintalah perlindungan!) dan katakan! Bismillahi al-rahman al-rahim.'"
Sementara itu, dalam Tafsir Ibnu Katsir Juz I memuat hadis dari Ibnu Abbas, "Yang pertama diturunkan oleh Jibril kepada Muhammad SAW adalah ia berkata, hai Muhammad ista'idz!. Nabi pun berkata, asta'iidzu billahi as-sami' al-'aliim min al-syaithan al-rajim. Selanjutnya, Jibril berkata, ucapkan bismillahir rahmanirrahim dan kemudian Jibril pun berkata, Iqra! Bismi rabbika al-ladzi khalaq. Namun, atsar tersebut gharib dan di dalam sanadnya lemah dan terputus."
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dikisahkan dalam kitab Manaqib (perjalanan hidup) suatu saat melihat cahaya yang memenuhi ufuk. Dari balik cahaya itu kemudian keluar gambaran tubuh dan memanggilnya, "Hai Abdul Qadir, akulah Tuhan-Mu. Kini, aku katakan kepadamu bahwa semua yang haram aku halalkan bagimu." Beliau pun mengucapkan, audzu billahi min asy-syaithanir rajiim.
Murid-murid Syekh Abdul Qadir Jailani dan para wali lainnya pun menyebar ke berbagai negeri, salah satunya ke wilayah nusantara di belahan bumi bagian timur. nusantara pun berubah menjadi kawasan yang mayoritas penduduknya Muslim dan bahkan hingga kini terbesar di dunia.
Bisikan setan
Bila berabad-abad sebelumnya Islamisasi tidak dapat dilihat mata hati orang-orang non-Muslim maka sejak abad ke-19, deislamisasi sistem ekonomi tidak dapat dilihat oleh mata hati sebagian besar umat Islam. Deislamisasi tersebut salah satunya melalui penggantian dinar (uang emas) dan dirham (uang perak) dengan uang kertas.
Sejak sekitar satu abad silam umat Islam belum bisa keluar dari krisis moneter yang dikendalikan satu atau segelintir orang yang mengendalikan sistem uang kertas secara internasional. Sejak dinar dan dirham diganti uang kertas, umat Islam tertipu oleh bisikan "pertukaran kertas-kertas kecil bernama dolar dengan sekian ton emas, sekian hektare hutan, dan sebagainya adalah halal".
Bisikan tersebut terus berbunyi dan berhasil menipu umat Islam dari generasi ke generasi sejak abad ke-19. Sekian hektare hutan di Indonesia yang terdiri berbagai pulau ini pun semakin gundul. Akibatnya, ketika musim kemarau udara terasa semakin panas. Ketika musim hujan, banjir dan longsor melanda di mana-mana hingga mudah dilanda gempa bumi. Hal ini terjadi seiring semakin lenyapnya sekian hektare pepohonan sebagai penyerap air dan cahaya mata hari sekaligus penyangga daratan.
Fakta semakin mundurnya umat Islam tersebut membuat saya teringat ilmu yang diberikan sang kakek lainnya, yaitu agar kembali kepada fikih para ulama sebelum abad ke-19. Saya pun belakangan menyadari rahasia di balik pernyataannya tersebut. Salah satunya karena para ulama sejak abad ke-19 menghalalkan uang kertas hingga dinar (uang emas) dan dirham (uang perak) hilang dari peredaran.
Padahal, seperti ditulis oleh Des Alwi dalam buku Sejarah Maluku, penggunaan uang kertas sebagaimana terjadi di Maluku bermula dari bangkrutnya VOC. Mereka pun memaksa rakyat Maluku agar menerima uang kertas yang mereka cetak sebagai alat tukar. Mereka pun mencambuk rakyat Maluku yang tetap ingin gunakan uang perak hingga memicu meletusnya Perang Pattimura pada 1817.
Pada masa transisi berakhirnya penggunaan dinar dan dirham diganti dengan uang kertas, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), salah seorang guru KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari saat sama-sama belajar di Makkah telah berusaha mempertahankan kedua mata uang emas dan perak ini sebagai standar pemberlakuan zakat mal. Dalam karyanya, Raf'u al-Iltibas 'an Hukmi al-Anwath al-Muta'amal biha baina an-Nas, Syekh Ahmad Khatib mengatakan, uang kertas yang disebut nuth disamakan dengan fulus sehingga tidak termasuk dalam syariah zakat.
Pelanggaran syariah Islam dalam penggunaan uang kertas ini kemudian disadari oleh berbagai tokoh. Salah satunya yaitu Syekh Abdal Qadir as-Sufi yang memerintahkan salah seorang muridnya asal Spanyol, Umar Ibrahim Vadillo, untuk mengkaji kitab Al-Muwattho dan kitab-kitab klasik lainnya hingga dinar dan dirham pertama kali dicetak pada era modern ini sejak 1992 dan juga beredar ke Indonesia sejak 1999.
*Peneliti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Dibaca : 2343 kali
lainnya
Index kategori : Artikel
Firman Pertama
Nurman Kholis - Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
Pada peringatan Nuzulul Quran, para penceramah biasanya mengutip firman Allah yang pertama kali disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, yaitu iqra. Perintah membaca ini juga telah tertanam sejak masa kanak-kanak seperti melalui Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA).
Sebagaimana dimuat di situsRepublika
Sang kakek selanjutnya mengatakan, "Agar Nabi Adam dan Siti Hawa serta seluruh keturunannya dapat pulang kembali ke surga, Allah memerintahkan seluruh manusia untuk berlindung kepada-Nya dari setan yang terkutuk. Jadi, firman Allah yang pertama untuk Nabi Adam AS dan Siti Hawa, setelah diturunkan ke dunia ini adalah perintah mengucapkan a'udzu billahi min al-syaithan al- rajiim.
Saya lantas berusaha mencari hadis dan buku-buku sejarah terkait perintah mengucapkan a'udzu billahi min al-syaithan al- rajiim sebagai firman Allah yang pertama kali disampaikan kepada Nabi Adam AS sejak diturunkan ke dunia ini. Namun, hingga kini belum saya peroleh. Saya pun berusaha mencari hadis terkait peristiwa penyampaikan firman Allah pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW melalui internet hingga diperoleh beberapa hadis. Salah satunya dari kitab Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Adhim wa as-Sab'i al-Matsani karya Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini yang mengutip hadis dari Ibnu Abbas. Ia berkata, "Yang pertama diturunkan oleh Jibril AS kepada Nabi SAW adalah ia berkata, 'Hai, Muhammad ista'idz! (mintalah perlindungan!) dan katakan! Bismillahi al-rahman al-rahim.'"
Sementara itu, dalam Tafsir Ibnu Katsir Juz I memuat hadis dari Ibnu Abbas, "Yang pertama diturunkan oleh Jibril kepada Muhammad SAW adalah ia berkata, hai Muhammad ista'idz!. Nabi pun berkata, asta'iidzu billahi as-sami' al-'aliim min al-syaithan al-rajim. Selanjutnya, Jibril berkata, ucapkan bismillahir rahmanirrahim dan kemudian Jibril pun berkata, Iqra! Bismi rabbika al-ladzi khalaq. Namun, atsar tersebut gharib dan di dalam sanadnya lemah dan terputus."
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dikisahkan dalam kitab Manaqib (perjalanan hidup) suatu saat melihat cahaya yang memenuhi ufuk. Dari balik cahaya itu kemudian keluar gambaran tubuh dan memanggilnya, "Hai Abdul Qadir, akulah Tuhan-Mu. Kini, aku katakan kepadamu bahwa semua yang haram aku halalkan bagimu." Beliau pun mengucapkan, audzu billahi min asy-syaithanir rajiim.
Murid-murid Syekh Abdul Qadir Jailani dan para wali lainnya pun menyebar ke berbagai negeri, salah satunya ke wilayah nusantara di belahan bumi bagian timur. nusantara pun berubah menjadi kawasan yang mayoritas penduduknya Muslim dan bahkan hingga kini terbesar di dunia.
Bisikan setan
Bila berabad-abad sebelumnya Islamisasi tidak dapat dilihat mata hati orang-orang non-Muslim maka sejak abad ke-19, deislamisasi sistem ekonomi tidak dapat dilihat oleh mata hati sebagian besar umat Islam. Deislamisasi tersebut salah satunya melalui penggantian dinar (uang emas) dan dirham (uang perak) dengan uang kertas.
Sejak sekitar satu abad silam umat Islam belum bisa keluar dari krisis moneter yang dikendalikan satu atau segelintir orang yang mengendalikan sistem uang kertas secara internasional. Sejak dinar dan dirham diganti uang kertas, umat Islam tertipu oleh bisikan "pertukaran kertas-kertas kecil bernama dolar dengan sekian ton emas, sekian hektare hutan, dan sebagainya adalah halal".
Bisikan tersebut terus berbunyi dan berhasil menipu umat Islam dari generasi ke generasi sejak abad ke-19. Sekian hektare hutan di Indonesia yang terdiri berbagai pulau ini pun semakin gundul. Akibatnya, ketika musim kemarau udara terasa semakin panas. Ketika musim hujan, banjir dan longsor melanda di mana-mana hingga mudah dilanda gempa bumi. Hal ini terjadi seiring semakin lenyapnya sekian hektare pepohonan sebagai penyerap air dan cahaya mata hari sekaligus penyangga daratan.
Fakta semakin mundurnya umat Islam tersebut membuat saya teringat ilmu yang diberikan sang kakek lainnya, yaitu agar kembali kepada fikih para ulama sebelum abad ke-19. Saya pun belakangan menyadari rahasia di balik pernyataannya tersebut. Salah satunya karena para ulama sejak abad ke-19 menghalalkan uang kertas hingga dinar (uang emas) dan dirham (uang perak) hilang dari peredaran.
Padahal, seperti ditulis oleh Des Alwi dalam buku Sejarah Maluku, penggunaan uang kertas sebagaimana terjadi di Maluku bermula dari bangkrutnya VOC. Mereka pun memaksa rakyat Maluku agar menerima uang kertas yang mereka cetak sebagai alat tukar. Mereka pun mencambuk rakyat Maluku yang tetap ingin gunakan uang perak hingga memicu meletusnya Perang Pattimura pada 1817.
Pada masa transisi berakhirnya penggunaan dinar dan dirham diganti dengan uang kertas, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), salah seorang guru KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari saat sama-sama belajar di Makkah telah berusaha mempertahankan kedua mata uang emas dan perak ini sebagai standar pemberlakuan zakat mal. Dalam karyanya, Raf'u al-Iltibas 'an Hukmi al-Anwath al-Muta'amal biha baina an-Nas, Syekh Ahmad Khatib mengatakan, uang kertas yang disebut nuth disamakan dengan fulus sehingga tidak termasuk dalam syariah zakat.
Pelanggaran syariah Islam dalam penggunaan uang kertas ini kemudian disadari oleh berbagai tokoh. Salah satunya yaitu Syekh Abdal Qadir as-Sufi yang memerintahkan salah seorang muridnya asal Spanyol, Umar Ibrahim Vadillo, untuk mengkaji kitab Al-Muwattho dan kitab-kitab klasik lainnya hingga dinar dan dirham pertama kali dicetak pada era modern ini sejak 1992 dan juga beredar ke Indonesia sejak 1999.
*Peneliti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Dibaca : 2343 kali
lainnya
- Bersyiar dengan Kasih Sayang
- Jerat Utang Runtuhkan Khilafah
- Fulus di Zaman Khalifah Umar ibn Khattab
- Konstitusionalisme Pemecah Belah Islam
- Bank Syariah, Serigala Berbulu Domba
Index kategori : Artikel
© WAKALA INDUK NUSANTARA DISCLAIMER SITEMAP SITE INFO