Membawa Kembali Dinar Dirham ke Kesultanan Pontianak
M. Abdurrasyidi -
Kesultanan Kadriah Pontianak menurut para sejarawan adalah kesultanan yang tergolong paling muda di Nusantara.

Siang itu, Minggu 5 Agustus 2012 saya bersama empat orang rekan berkesempatan mengunjungi Keraton Kadriah yang letaknya di Kampung Dalam Bugis, Pontianak Timur. Keraton yang letaknya tidak jauh dari Sungai Kapuas ini berada berhadapan dengan Masjid Jami yang dibangun hampir bersamaan dengan keraton tersebut. Dengan ukuran bangunan sekitar 30 x 50 meter, keraton masih tampak megah dengan kerangka bangunan terbuat dari kayu belian.
Begitu kami masuk ke dalam keraton, tampaklah singgasana Sultan dengan tirai kuning menghiasi sisi-sisi di sekeliling singgasana. Dua buah kursi kayu tampak kokoh di dalam singgasana yang harus dicapai melalui tiga undakan di sisi depan. Karpet hijau menghampar di depan singgasana lurus ke depan searah dengan pintu masuk.
Kami diterima oleh seorang ibu yang masih kerabat keraton. Ibu tersebut adalah cucu dari Sultan keenam Kesultanan Pontianak (Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie). Beberapa peninggalan keraton terpampang di pinggir ruangan membawa lamunan saya mengikuti legenda yang pernah saya baca tentang bagaimana Sultan Syarif Abdurrahman Al Kadrie berperang dan mengalahkan hantu Pontianak (sejenis kuntilanak) yang mengganggu.

Tiba-tiba ingatan saya tertuju pada kesultanan lainnya di Nusantara, terutama Kesultanan Kasepuhan Cirebon, Kesultanan Ternate dan Kesultanan Sulu Darul Islam (di Filipina Selatan). Ketiga kesultanan tersebut telah menyatakan akan mencetak kembali koin Dinar emas dan Dirham perak atas nama mereka sebagai Sultan. Tentu saja hal itu sebenarnya telah dilakukan oleh generasi awal dan mereka akan melakukan kembali hal yang telah dilakukan pendahulu mereka. Selain itu, zakat mal akan ditarik oleh Sultan dan dibagikan kepada para penerima zakat dalam bentuk Dinar emas dan Dirham perak.
Yang kupahami sekarang tentang zakat adalah bahwa hal tersebut berbeda sifatnya dengan salat. Salat merupakan urusan privat, sedangkan zakat adalah urusan publik. Zakat, selain merupakan ibadah wajib, adalah institusi politik dalam Islam. Tegaknya zakat sebagai rukun Islam mensyaratkan dan menunjukkan tegaknya tata pemerintahan dalam Islam. Para Sultan itulah yang akan menjadi pimpinan umat Islam saat tidak ada khalifah seperti saat ini. Sedangkan untuk kepemimpinan lokal dibentuklah amirat-amirat yang dipimpin oleh seorang amir.
Setelah melihat benda-benda peninggalan kesultanan seperti meriam, pakaian, cermin seribu, keris, meja giok, Al Quran tulis tangan dan sebagainya, saya menyempatkan berdialog dengan penunggu keraton yang masih kerabat Sultan. Secara singkat saya menceritakan bahwa Kesultanan lain di Nusantara telah menyatakan kesiapannya untuk mencetak kembali Dinar emas dan Dirham perak serta menarik dan membagikan zakat atas nama Sultan. Saya sampaikan juga pengharapan bahwa semoga suatu saat hal tersebut juga dilakukan oleh Kesultanan Pontianak.

Azan duhur berkumandang, kami bergegas untuk berpamitan mengakhiri kunjungan singkat kami. Untaian doa dari kerabat keraton menyertai kepulangan kami. Kulangkahkan kakiku meninggalkan bangunan keraton dengan doa dan harapan besar di dada. Semoga para Sultan yang memimpin Kesultanan di Nusantara, termasuk Kesultanan Pontianak kembali menjalankan peran kepemimpinannya sesuai amanah yang diberikan Alloh SWT sehingga kepemimpinan umat Islam akan muncul kembali. Kepemimpinan yang ditetapkan untuk melanjutkan kerasulan dan merupakan cara untuk menjaga dien (urusan agama) dan mengelola urusan dunia. Amin.
Pontianak, 6 Agustus 2012