Depok, 13 Februari 2013
Menghadapi Redenominasi
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Redenominasi rupiah oleh Bank Indonesia segera dimulai. Masyarakat harus mengantisipasinya dengan tepat, dan mengambil tindakan sendiri.
Menghadapi Redenominasi
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Redenominasi rupiah oleh Bank Indonesia segera dimulai. Masyarakat harus mengantisipasinya dengan tepat, dan mengambil tindakan sendiri.
Pelaksanaan redenominasi rupiah sudah semakin dekat. Meski belum ada dasar hukumnya, BI sudah menyosialisasikan rancangan rupiah baru. RUU Redenominasi sudah hampir pasti akan digolkan akhir 2013 ini, hingga redenominasi dapat dimulai sesuai rencana, yaitu awal 2014. Dalam hal ini Pemerintah dan DPR hanya diperlukan sebagai pemberi legitimasi legal saja, sebab BI, sebagai entitas di luar Pemerintahan RI, memiliki kebebasan penuh mengambil keputusan kebijakan moneter, yang tidak dapat dihalangi oleh pemerintah dan DPR.
Dua tahun lalu, Wakil Presiden RI, Bapak Boediono, yang merupakan mantan Gubernur BI pun sudah menegaskan: "Bahwa itu adalah kewenangan Bank Indonesia!" Tentu saja. BI adalah bagian dari International Monetary Fund (IMF), bukan dari Pemerintah Republik Indonesia. Kini yang dilakukan oleh para pejabat BI adalah meyakinkan masyarakat bahwa redenominasi berbeda dengan sanering. Bahwa penghilangan tiga angka 0 pada rupiah tidak mengubah nilai tukarnya.
Benarkah klaim BI tersebut?
Anda harus memahami makna redenominasi yang sebenarnya. Sebab, Andalah yang menerima akibatnya, bukan mereka. Anda perlu memahami tindakan yang bisa diambil untuk menyelamatkan harta benda pribadi dan keluarga. Kalau redenominasi itu dilaksanakan, atau selama masa rencana ini, apa yang bisa Anda lakukan?
Memahami Redenominasi
Redenominasi adalah teknik baru para bankir dalam merekalibrasi mata uang. Langkah ini dilakukan karena dua alasan (1) inflasi atau (2) devaluasi. Atau, kalau bukan karena keduanya, karena alasan geopolitik tertentu. Ini terjadi, misalnya, ketika berbagai bankir di Eropa bersepakat untuk memiliki mata uang regional euro, yang mengharuskan tiap negara Uni Eropa merekalibrasi mata uang nasional masing-masing. Ini adalah upaya pengendalian seluruh masyarakat setempat di bawah satu kekuasan bankir tertentu.
Bila redenominasi itu dilakukan karena inflasi, maka ada dua variasi, yaitu hiperinflasi atau inflasi sangat tinggi dalam tempo singkat, atau inflasi kronis, yaitu inflasi yang terus-menerus terjadi dalam waktu panjang.
Secara teknis redenominasi mata uang nasional adalah rekalibrasi mata uang suatu negara dengan cara mengganti currency unit mata uang lama (yang berlaku) dengan mata uang yang baru, yang dipakai sebagai 1 unit mata uang. Bedanya dengan devaluasi adalah pada yang terakhir ini unit rekalibrasinya adalah mata uang asing, umumnya dolar AS. Kalau inflasinya sangat besar, maka rasioanya juga akan besar, bisa kelipatan 10, 100, 1000, atau lebih besar lagi. Dalam hal ini, proses itu lalu disederhanakan, dan disebut sebagai "penghilangan angka nol". Dalam hal euro rekalibrasi dilakukan atas berbagai mata uang nasional terhadap satu mata uang tunggal baru, yaitu euro.
Nasib Rupiah
Begitu Indonesia diakui kemerdekaannya, 1949, rupiah dipatok sebesar 3.8 per dolar AS. Sesudah melorot sampai Rp 11.4 per dolar pada 1952 (saat ORI diganti menjadi Uang Bank Indonesia), dan terus melorot sampai Rp 45, melesat menjadi Rp 0,25 pada 1965, berkat sanering Soekarno. Selama Orde Baru, atas desakan IMF dan Bank Dunia rupiah berkali-kali didevaluasi. Pada 1970 menjadi Rp 378, pada 1971 menjadi Rp 415, pada 1978 merosot lagi 55%, menjadi lebih dari Rp 625 per dolar AS; didevaluasi lagi pada September 1983, 45%, menjadi Rp 970 per dolar AS. Pada 1986 bertengger di Rp 1.660/dolar AS.
Dari waktu ke waktu nilai tukar rupiah lalu terus mengalami depresiasi sampai mencapai angka sekitar Rp 2.200 per dolar AS sebelum 'Krismon' 1997. Nilai rupiah kemudian 'terjun bebas' pertengahan 1997, dan sejak itu terus terombang-ambing - lagi-lagi atas kemauan IMF dan Bank Dunia - dalam sistem kurs mengambang (floating rate), dengan titik terendah yang pernah dicapai sebesar Rp 16.000 per dolar AS, di awal 1998, dan saat ini fluktuatif di sekitar Rp 9.500-Rp 10.000 per dolar AS.
Jadi, munculnya gagasan untuk rekalibrasi rupiah kali ini, dengan cara redenominasi melalui penghilangan tiga angka nol-nya, yakni mata uang Rp 1.000 menjadi Rp 1, penyebabnya tiada lain adalah inflasi kronis. Tetapi bagi masyarakat umum apakah ada perbedaan implikasinya antara sanering, devaluasi, dan redenominasi?
Secara substansial, tentu saja, tidak ada bedanya. Ketiganya hanya bermakna bahwa mata uang rupiah kita semakin kehilangan daya belinya. Arti kongkritnya adalah masyarakat yang memegang rupiah semakin hari semakin miskin. Dalam rentang dua tahun terakhir saja, sejak isu redenominasi dilontarkan2010 lalu, dibandingkan saat ini (2013), kalau diukur dengan nilai telor ayam saja, rupiah telah kehilangan lebih dari 25% daya belinya. Dua tahun lalu Rp 100.000 mendapatkan 7 kg telor ayam, hari ini cuma 5 kg. Tidak ada bedanya apakah rupiah itu diberi lima angka 0 (Rp 100.000) ataukah digunduli hanya dengan dua angka 0 (Rp 100) hasil redenominasi. Daya belinya sudah tergerus 25% dalam dua tahun.
Penghilangan angka nol itu sejatinya dilakukan karena dua alasan. Pertama, alasan teknis, kerepotan dalam berbagai aspek pengelolaan mata uang dengan angka nominal besar. Kedua, alasan psikologis atau tepatnya psikis, karena pada titik tertentu masyarakat tidak akan bisa manerima harga dengan nominal yang sangat besar. Tetapi, tujuan mendasarnya, adalah menutupi kegagalan mata uang kertas untuk mempertahankan daya belinya. Redenominasi hanya menyembunyikan penyakit sejatinya, yaitu depresiasi. Penyakit inflasi (akut atau kronis) atau tepatnya penurunan daya beli mata uang kertas (depresiasi) bukan cuma diderita oleh rupiah. Semua mata uang kertas mengalaminya. Dolar AS telah kehilangan daya belinya lebih dari 95% dalam kurun 40 tahun. Euro, hasil rekalibrasi geopolitis, yang konon merupakan mata uang terkuat saat ini, dalam sepuluh tahun terakhir, kehilangan sekitar 70% daya belinya. Rupiah? Lebih dari 99,9% daya belinya telah lenyap dalam 65 tahun ini. Maka, fungsi rekalibrasi sebenarnya hanyalah untuk menutupi cacat bawaan uang kertas ini. Hingga publik tidak merasakan bahwa dalam kurun 68 tahun Indonesia merdeka, kita telah dipermiskin sebanyak 275 ribu kali!
Rekalibrasi mata uang kertas adalah senjata utama para bankir untuk mengelabui masyarakat atas kenyataan ini. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini saja belasan mata uang berbagai negara direkalibrasi: Turki, Siprus, Slovakia, Romania, Ghana, Azerbeijan, Slovenia, Turkmenistan, Mozambique, Venezuela, dll. Yang paling spektakuler, tentu saja, adalah dolar Zimbabwe, yang dalam kurun lima tahun terakhir mengalami tiga kali (2006, 2008, dan 2009) redenominasi, dengan menghapus total 25 angka nol pada unit mata uangnya! Toh gagal juga, yang berakhir dengan tidak dimilikinya mata uang nasional Zimbabwe, dan kini menerima dolar AS sebagai mata uang mereka!
Pilihan Masyarakat: Dinar emas dan Dirham Perak
Lalu adakah pilihan bagi masyarakat? Tentu saja ada. Yakni pilihlah alat tukar yang tidak bisa disanering, didevaluasi atau diredenominasi, artinya tidak dapat dimanipulasi oleh siapa pun, bukan cuma oleh bank sentral atau IMF, yakni alat tukar yang memiliki nilai intrinsik. Pilihan terbaik untuk itu adalah dinar emas atau dirham perak, yang kini mulai beredar luas di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Pada Januari 2013 dinar emas dan dirham perak, termasuk yang beredar di Indonesia (www.wakalanusantara.com), telah mulai berlaku sebagai alat tukar internasional, dengan kurs tunggal. Mata uang tunggal Islam ini berada di bawah regulasi World Islamic Mint. Setidaknya saat ini ada lima seri Dirham dan Dinar, yaitu Pemerintah Kelantan, Kesultanan Sulu, Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Ternate, dan Amirat Indonesia. Jadi, inilah saat yang tepat bagi masyarakat untuk mengalihkan uang kertasnya menjadi dinar emas dan dirham perak. Alat tukar yang bebas inflasi, bebas riba, dan mustahil diredenominasi!
Catatan: tulisan ini adalah hasil up date dari tulisan yang pernah dimuat di Harian Republika, 5 Agustus 2010, hal. 4
Dua tahun lalu, Wakil Presiden RI, Bapak Boediono, yang merupakan mantan Gubernur BI pun sudah menegaskan: "Bahwa itu adalah kewenangan Bank Indonesia!" Tentu saja. BI adalah bagian dari International Monetary Fund (IMF), bukan dari Pemerintah Republik Indonesia. Kini yang dilakukan oleh para pejabat BI adalah meyakinkan masyarakat bahwa redenominasi berbeda dengan sanering. Bahwa penghilangan tiga angka 0 pada rupiah tidak mengubah nilai tukarnya.
Benarkah klaim BI tersebut?
Anda harus memahami makna redenominasi yang sebenarnya. Sebab, Andalah yang menerima akibatnya, bukan mereka. Anda perlu memahami tindakan yang bisa diambil untuk menyelamatkan harta benda pribadi dan keluarga. Kalau redenominasi itu dilaksanakan, atau selama masa rencana ini, apa yang bisa Anda lakukan?
Memahami Redenominasi
Redenominasi adalah teknik baru para bankir dalam merekalibrasi mata uang. Langkah ini dilakukan karena dua alasan (1) inflasi atau (2) devaluasi. Atau, kalau bukan karena keduanya, karena alasan geopolitik tertentu. Ini terjadi, misalnya, ketika berbagai bankir di Eropa bersepakat untuk memiliki mata uang regional euro, yang mengharuskan tiap negara Uni Eropa merekalibrasi mata uang nasional masing-masing. Ini adalah upaya pengendalian seluruh masyarakat setempat di bawah satu kekuasan bankir tertentu.
Bila redenominasi itu dilakukan karena inflasi, maka ada dua variasi, yaitu hiperinflasi atau inflasi sangat tinggi dalam tempo singkat, atau inflasi kronis, yaitu inflasi yang terus-menerus terjadi dalam waktu panjang.
Secara teknis redenominasi mata uang nasional adalah rekalibrasi mata uang suatu negara dengan cara mengganti currency unit mata uang lama (yang berlaku) dengan mata uang yang baru, yang dipakai sebagai 1 unit mata uang. Bedanya dengan devaluasi adalah pada yang terakhir ini unit rekalibrasinya adalah mata uang asing, umumnya dolar AS. Kalau inflasinya sangat besar, maka rasioanya juga akan besar, bisa kelipatan 10, 100, 1000, atau lebih besar lagi. Dalam hal ini, proses itu lalu disederhanakan, dan disebut sebagai "penghilangan angka nol". Dalam hal euro rekalibrasi dilakukan atas berbagai mata uang nasional terhadap satu mata uang tunggal baru, yaitu euro.
Nasib Rupiah
Sepanjang umurnya yang 68 tahunan rupiah sudah mengalami berkali-kali rekalibrasi. Yang dicatat dalam buku sejarah di sekolah adalah saat rezim Orde Lama pada 31 Desember 1965, memangkas nilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Istilah yang populer untuk peristiwa ini adalah sanering. Penyebabnya adalah hiperinflasi. Sesudah Orde Lama jatuh, selama kurun pemerintah Orde Baru, rupiah juga mengalami berkali-kali rekalibrasi, dengan istilah berbeda, yakni devaluasi. Dalam beberapa tahun awal keberadaan Republik Indonesia rupiah juga sudah mengalami beberapa kali rekalibrari.
Begitu Indonesia diakui kemerdekaannya, 1949, rupiah dipatok sebesar 3.8 per dolar AS. Sesudah melorot sampai Rp 11.4 per dolar pada 1952 (saat ORI diganti menjadi Uang Bank Indonesia), dan terus melorot sampai Rp 45, melesat menjadi Rp 0,25 pada 1965, berkat sanering Soekarno. Selama Orde Baru, atas desakan IMF dan Bank Dunia rupiah berkali-kali didevaluasi. Pada 1970 menjadi Rp 378, pada 1971 menjadi Rp 415, pada 1978 merosot lagi 55%, menjadi lebih dari Rp 625 per dolar AS; didevaluasi lagi pada September 1983, 45%, menjadi Rp 970 per dolar AS. Pada 1986 bertengger di Rp 1.660/dolar AS.
Dari waktu ke waktu nilai tukar rupiah lalu terus mengalami depresiasi sampai mencapai angka sekitar Rp 2.200 per dolar AS sebelum 'Krismon' 1997. Nilai rupiah kemudian 'terjun bebas' pertengahan 1997, dan sejak itu terus terombang-ambing - lagi-lagi atas kemauan IMF dan Bank Dunia - dalam sistem kurs mengambang (floating rate), dengan titik terendah yang pernah dicapai sebesar Rp 16.000 per dolar AS, di awal 1998, dan saat ini fluktuatif di sekitar Rp 9.500-Rp 10.000 per dolar AS.
Jadi, munculnya gagasan untuk rekalibrasi rupiah kali ini, dengan cara redenominasi melalui penghilangan tiga angka nol-nya, yakni mata uang Rp 1.000 menjadi Rp 1, penyebabnya tiada lain adalah inflasi kronis. Tetapi bagi masyarakat umum apakah ada perbedaan implikasinya antara sanering, devaluasi, dan redenominasi?
Secara substansial, tentu saja, tidak ada bedanya. Ketiganya hanya bermakna bahwa mata uang rupiah kita semakin kehilangan daya belinya. Arti kongkritnya adalah masyarakat yang memegang rupiah semakin hari semakin miskin. Dalam rentang dua tahun terakhir saja, sejak isu redenominasi dilontarkan2010 lalu, dibandingkan saat ini (2013), kalau diukur dengan nilai telor ayam saja, rupiah telah kehilangan lebih dari 25% daya belinya. Dua tahun lalu Rp 100.000 mendapatkan 7 kg telor ayam, hari ini cuma 5 kg. Tidak ada bedanya apakah rupiah itu diberi lima angka 0 (Rp 100.000) ataukah digunduli hanya dengan dua angka 0 (Rp 100) hasil redenominasi. Daya belinya sudah tergerus 25% dalam dua tahun.
Penghilangan angka nol itu sejatinya dilakukan karena dua alasan. Pertama, alasan teknis, kerepotan dalam berbagai aspek pengelolaan mata uang dengan angka nominal besar. Kedua, alasan psikologis atau tepatnya psikis, karena pada titik tertentu masyarakat tidak akan bisa manerima harga dengan nominal yang sangat besar. Tetapi, tujuan mendasarnya, adalah menutupi kegagalan mata uang kertas untuk mempertahankan daya belinya. Redenominasi hanya menyembunyikan penyakit sejatinya, yaitu depresiasi. Penyakit inflasi (akut atau kronis) atau tepatnya penurunan daya beli mata uang kertas (depresiasi) bukan cuma diderita oleh rupiah. Semua mata uang kertas mengalaminya. Dolar AS telah kehilangan daya belinya lebih dari 95% dalam kurun 40 tahun. Euro, hasil rekalibrasi geopolitis, yang konon merupakan mata uang terkuat saat ini, dalam sepuluh tahun terakhir, kehilangan sekitar 70% daya belinya. Rupiah? Lebih dari 99,9% daya belinya telah lenyap dalam 65 tahun ini. Maka, fungsi rekalibrasi sebenarnya hanyalah untuk menutupi cacat bawaan uang kertas ini. Hingga publik tidak merasakan bahwa dalam kurun 68 tahun Indonesia merdeka, kita telah dipermiskin sebanyak 275 ribu kali!
Rekalibrasi mata uang kertas adalah senjata utama para bankir untuk mengelabui masyarakat atas kenyataan ini. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini saja belasan mata uang berbagai negara direkalibrasi: Turki, Siprus, Slovakia, Romania, Ghana, Azerbeijan, Slovenia, Turkmenistan, Mozambique, Venezuela, dll. Yang paling spektakuler, tentu saja, adalah dolar Zimbabwe, yang dalam kurun lima tahun terakhir mengalami tiga kali (2006, 2008, dan 2009) redenominasi, dengan menghapus total 25 angka nol pada unit mata uangnya! Toh gagal juga, yang berakhir dengan tidak dimilikinya mata uang nasional Zimbabwe, dan kini menerima dolar AS sebagai mata uang mereka!
Pilihan Masyarakat: Dinar emas dan Dirham Perak
Lalu adakah pilihan bagi masyarakat? Tentu saja ada. Yakni pilihlah alat tukar yang tidak bisa disanering, didevaluasi atau diredenominasi, artinya tidak dapat dimanipulasi oleh siapa pun, bukan cuma oleh bank sentral atau IMF, yakni alat tukar yang memiliki nilai intrinsik. Pilihan terbaik untuk itu adalah dinar emas atau dirham perak, yang kini mulai beredar luas di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Pada Januari 2013 dinar emas dan dirham perak, termasuk yang beredar di Indonesia (www.wakalanusantara.com), telah mulai berlaku sebagai alat tukar internasional, dengan kurs tunggal. Mata uang tunggal Islam ini berada di bawah regulasi World Islamic Mint. Setidaknya saat ini ada lima seri Dirham dan Dinar, yaitu Pemerintah Kelantan, Kesultanan Sulu, Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Ternate, dan Amirat Indonesia. Jadi, inilah saat yang tepat bagi masyarakat untuk mengalihkan uang kertasnya menjadi dinar emas dan dirham perak. Alat tukar yang bebas inflasi, bebas riba, dan mustahil diredenominasi!
Catatan: tulisan ini adalah hasil up date dari tulisan yang pernah dimuat di Harian Republika, 5 Agustus 2010, hal. 4