Jakarta, 11 Maret 2013
Pembebasan Pajak Atas Dinar Dirham
Abdurrasyidi - Praktisi Perpajakan & Pengguna Dinar Dirham
Pada penghujung tahun 2012 sejumlah ulama yang bermudzakaroh di Keraton Kesepuhan - Cirebon mengeluarkan pernyataan mendukung penggunaan dinar emas dan dirham perak sebagai penunai zakat mal dan alat tukar yang sesuai syariat Islam.
Pada kesempatan itu juga, Baitul Mal Nusantara, lembaga yang telah secara rutin menerima dan membagikan zakat mal dalam dinar dirham menyatakan perlunya pemerintah mengecualikan keduanya dari pengenaan pajak. Hal ini terkait pengenaan pajak berupa bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Pemakaian dinar dirham sebagai bentuk pengamalan keyakinan agama oleh umat Islam memang mulai marak. Republika tanggal 7 Desember 2012 memberitakan hal tersebut secara rinci. Perkembangan selanjutnya, tahun 2013 ini dinar dirham mulai berlaku universal secara global dengan beredarnya koin-koin yang diregulasi oleh World Islamic Mint (WIM) secara serentak di beberapa negeri.
Dengan semakin meluasnya penggunaan dinar dirham di Nusantara, menjadi hal yang wajar jika muncul harapan dikecualikannya keduanya dari pengenaan pajak. Lantas, apakah dalam khazanah perpajakan di Indonesia dikenal adanya pembebasan pajak untuk kepentingan pelaksanaan keyakinan agama?
Jika kita menilik falsafah pajak, selain mempunyai fungsi budgetair untuk membiayai pengeluaran negara, pajak mempunyai fungsi regulerend. Menurut Mardiasmo (2009, hal. 2) fungsi regulerend berarti bahwa pemungutan pajak hendaknya memperhatikan keadaan sosial ekonomi dalam masyarakat untuk menunjang pelaksanaan kebijakan dalam lapangan ekonomi, sosial atau menentukan politik perekonomian untuk mencapai tujuan di luar bidang keuangan. Hal ini berarti bahwa pengenaan pajak harus mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat, termasuk keyakinan agama.
Insentif perpajakan terkait agama
Aturan perpajakan di Indonesia sebenarnya telah mengenal pemberian insentif atau pembebasan pajak terhadap hal yang terkait dengan agama atau ibadah. Di antaranya adalah pengaturan zakat atau sumbangan keagamaan yg sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, tidak dikenakannya Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terhadap objek pajak yang digunakan semata-mata untuk kepentingan ibadah, dikecualikan sebagai objek PPh atas harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh badan keagamaan dan dibebaskannya PPN atas transaksi murabahah bank syariah.
Mengenai transaksi murabahah oleh bank syariah, sebelum berlakunya Undang-Undang (UU) No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU PPN, PPN dikenakan dua kali, yaitu saat penyerahan dari Pengusaha Kena Pajak kepada bank syariah dan dari bank syariah kepada pembeli akhir. Dengan berlakunya UU tersebut, transaksi murabahah dianggap langsung penyerahannya dari Pengusaha Kena Pajak kepada pembeli akhir sehingga pihak bank syariah tidak perlu memungut PPN.
Kelayakan dinar dirham untuk bebas pajak
Pengamalan dinar dirham saat ini selain merupakan bagian dari ibadah umat Islam juga akan mengokohkan ekonomi bangsa. Hal ini terkait dengan sifat emas dan perak yang tahan inflasi. Kekuatan keduanya telah mendorong Gubernur Negara Bagian Utah, Gary Herbert, yang disusul negara bagian lainnya di Amerika, mengesahkan UU yang memberlakukan koin emas dan koin perak sebagai alat tukar yang sah. Bahkan sebelum itu, Negara Bagian Kelantan, Malaysia telah lebih dahulu merestui peredaran koin dinar dirham Kelantan yang digunakan sebagai alat tukar alternatif yang mendampingi Ringgit Malaysia.
Penggunaan dinar dirham untuk membayar zakat mal, yang merupakan salah satu rukun Islam merupakan hal mendasar yang membuat dinar dirham pantas untuk dikecualikan dari pengenaan pajak. Seperti halnya beberapa hal terkait agama yang telah dibebaskan dari pajak maka dinar dirham juga pantas diberikan perlakuan yang sama. Dalam penjelasan UU No. 42/2009 disebutkan bahwa salah satu tujuan perubahan dalam UU tersebut adalah untuk mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi. Hal ini seharusnya bisa menjadi pintu bagi pembebasan PPN atas dinar dirham karena pengenaan PPN atas keduanya akan mengakibatkan distorsi berupa tingginya biaya perolehan dinar dirham yang berujung pada ketidakefisienan keduanya sebagai alat barter dan penunai zakat mal.
Dalam Pasal 4A ayat (2) huruf d UU No. 42/2009 disebutkan bahwa uang, emas batangan, dan surat-surat berharga adalah termasuk kelompok barang yang tidak dikenakan PPN. Sayang sekali dalam ketentuan tersebut dinar dirham tidak digolongkan sebagai uang. Padahal, pada kenyataannya dinar dirham dipergunakan oleh umat Islam sebagai uang, meskipun bukan sebagai legal tender. Ketentuan ini sebenarnya bisa menjadi pintu masuk berikutnya untuk menggolongkan dinar dirham ke dalam definisi uang yang tidak terkena PPN.
Pengenaan pajak berikutnya adalah saat memasukkannya ke Indonesia (impor). Emas, baik berupa batangan maupun koin, memang dibebaskan dari bea masuk. Sedangkan perak, hanya koin sebagai alat pembayaran yang sah yang bebas bea masuk. Di luar itu, bea masuk perak rata-rata sebesar 5%. Belum lagi adanya pemungutan PPh Pasal 22 impor sebesar 2,5%.
Praktik tersebut sangat berbeda dengan kecenderungan negara-negara lain yang mulai membebaskan bea masuk dan pajak lainnya atas emas dan perak. Singapura misalnya, mulai 1 Oktober 2012 membebaskan bea masuk dan good and sevice tax (sejenis PPN) atas emas dan perak yang tergolong dalam investment precious metals (IPM). Ditambah lagi tidak adanya pajak atas capital gain sehingga sangat kondusif bagi kepemilikan dan peredaran emas dan perak di sana.
Sudah sepantasnya, Indonesia, negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan pembebasan pajak atas dinar dirham sebagai bentuk dukungan dan perlindungan kepada warganya dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Selain itu, hal tersebut mendorong terciptanya kesejahteraan bangsa sesuai tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum.
Pembebasan Pajak Atas Dinar Dirham
Abdurrasyidi - Praktisi Perpajakan & Pengguna Dinar Dirham
Pada penghujung tahun 2012 sejumlah ulama yang bermudzakaroh di Keraton Kesepuhan - Cirebon mengeluarkan pernyataan mendukung penggunaan dinar emas dan dirham perak sebagai penunai zakat mal dan alat tukar yang sesuai syariat Islam.
Pada kesempatan itu juga, Baitul Mal Nusantara, lembaga yang telah secara rutin menerima dan membagikan zakat mal dalam dinar dirham menyatakan perlunya pemerintah mengecualikan keduanya dari pengenaan pajak. Hal ini terkait pengenaan pajak berupa bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Pemakaian dinar dirham sebagai bentuk pengamalan keyakinan agama oleh umat Islam memang mulai marak. Republika tanggal 7 Desember 2012 memberitakan hal tersebut secara rinci. Perkembangan selanjutnya, tahun 2013 ini dinar dirham mulai berlaku universal secara global dengan beredarnya koin-koin yang diregulasi oleh World Islamic Mint (WIM) secara serentak di beberapa negeri.
Dengan semakin meluasnya penggunaan dinar dirham di Nusantara, menjadi hal yang wajar jika muncul harapan dikecualikannya keduanya dari pengenaan pajak. Lantas, apakah dalam khazanah perpajakan di Indonesia dikenal adanya pembebasan pajak untuk kepentingan pelaksanaan keyakinan agama?
Jika kita menilik falsafah pajak, selain mempunyai fungsi budgetair untuk membiayai pengeluaran negara, pajak mempunyai fungsi regulerend. Menurut Mardiasmo (2009, hal. 2) fungsi regulerend berarti bahwa pemungutan pajak hendaknya memperhatikan keadaan sosial ekonomi dalam masyarakat untuk menunjang pelaksanaan kebijakan dalam lapangan ekonomi, sosial atau menentukan politik perekonomian untuk mencapai tujuan di luar bidang keuangan. Hal ini berarti bahwa pengenaan pajak harus mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat, termasuk keyakinan agama.
Insentif perpajakan terkait agama
Aturan perpajakan di Indonesia sebenarnya telah mengenal pemberian insentif atau pembebasan pajak terhadap hal yang terkait dengan agama atau ibadah. Di antaranya adalah pengaturan zakat atau sumbangan keagamaan yg sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, tidak dikenakannya Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terhadap objek pajak yang digunakan semata-mata untuk kepentingan ibadah, dikecualikan sebagai objek PPh atas harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh badan keagamaan dan dibebaskannya PPN atas transaksi murabahah bank syariah.
Mengenai transaksi murabahah oleh bank syariah, sebelum berlakunya Undang-Undang (UU) No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU PPN, PPN dikenakan dua kali, yaitu saat penyerahan dari Pengusaha Kena Pajak kepada bank syariah dan dari bank syariah kepada pembeli akhir. Dengan berlakunya UU tersebut, transaksi murabahah dianggap langsung penyerahannya dari Pengusaha Kena Pajak kepada pembeli akhir sehingga pihak bank syariah tidak perlu memungut PPN.
Kelayakan dinar dirham untuk bebas pajak
Pengamalan dinar dirham saat ini selain merupakan bagian dari ibadah umat Islam juga akan mengokohkan ekonomi bangsa. Hal ini terkait dengan sifat emas dan perak yang tahan inflasi. Kekuatan keduanya telah mendorong Gubernur Negara Bagian Utah, Gary Herbert, yang disusul negara bagian lainnya di Amerika, mengesahkan UU yang memberlakukan koin emas dan koin perak sebagai alat tukar yang sah. Bahkan sebelum itu, Negara Bagian Kelantan, Malaysia telah lebih dahulu merestui peredaran koin dinar dirham Kelantan yang digunakan sebagai alat tukar alternatif yang mendampingi Ringgit Malaysia.
Penggunaan dinar dirham untuk membayar zakat mal, yang merupakan salah satu rukun Islam merupakan hal mendasar yang membuat dinar dirham pantas untuk dikecualikan dari pengenaan pajak. Seperti halnya beberapa hal terkait agama yang telah dibebaskan dari pajak maka dinar dirham juga pantas diberikan perlakuan yang sama. Dalam penjelasan UU No. 42/2009 disebutkan bahwa salah satu tujuan perubahan dalam UU tersebut adalah untuk mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi. Hal ini seharusnya bisa menjadi pintu bagi pembebasan PPN atas dinar dirham karena pengenaan PPN atas keduanya akan mengakibatkan distorsi berupa tingginya biaya perolehan dinar dirham yang berujung pada ketidakefisienan keduanya sebagai alat barter dan penunai zakat mal.
Dalam Pasal 4A ayat (2) huruf d UU No. 42/2009 disebutkan bahwa uang, emas batangan, dan surat-surat berharga adalah termasuk kelompok barang yang tidak dikenakan PPN. Sayang sekali dalam ketentuan tersebut dinar dirham tidak digolongkan sebagai uang. Padahal, pada kenyataannya dinar dirham dipergunakan oleh umat Islam sebagai uang, meskipun bukan sebagai legal tender. Ketentuan ini sebenarnya bisa menjadi pintu masuk berikutnya untuk menggolongkan dinar dirham ke dalam definisi uang yang tidak terkena PPN.
Pengenaan pajak berikutnya adalah saat memasukkannya ke Indonesia (impor). Emas, baik berupa batangan maupun koin, memang dibebaskan dari bea masuk. Sedangkan perak, hanya koin sebagai alat pembayaran yang sah yang bebas bea masuk. Di luar itu, bea masuk perak rata-rata sebesar 5%. Belum lagi adanya pemungutan PPh Pasal 22 impor sebesar 2,5%.
Praktik tersebut sangat berbeda dengan kecenderungan negara-negara lain yang mulai membebaskan bea masuk dan pajak lainnya atas emas dan perak. Singapura misalnya, mulai 1 Oktober 2012 membebaskan bea masuk dan good and sevice tax (sejenis PPN) atas emas dan perak yang tergolong dalam investment precious metals (IPM). Ditambah lagi tidak adanya pajak atas capital gain sehingga sangat kondusif bagi kepemilikan dan peredaran emas dan perak di sana.
Sudah sepantasnya, Indonesia, negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan pembebasan pajak atas dinar dirham sebagai bentuk dukungan dan perlindungan kepada warganya dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Selain itu, hal tersebut mendorong terciptanya kesejahteraan bangsa sesuai tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum.