Depok, 26 Februari 2009
Memahami Syirkat dan Qirad
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Kekurangpahaman tentang qirad (mudharabah) dan syirkat dapat menjerumuskan kita kepada praktek riba. Tulisan ini menjawab pertanyaan dari berbagai pihak mengenai hal ini.
A. Syirkat
Syirkat adalah kemitraan dua atau lebih orang yang secara bersama-sama menjalankan suatu usaha, khususnya usaha produksi sekunder (bukan produksi primer seperti pertanian dan peternakan). Dalam kitab Al Muwatta, Buku 35 tentang [Hak] Pemilikan Lebih Dahulu [Syufah] atas Barang, Imam Malik menyampaikan empat riwayat terkait dengan perkongsian usaha ini. Dalam syirkat ketersediaan modal tidak selalu dipersyaratkan. Tapi, bila ada modal yang dilibatkan, maka semua orang yang bermaksud melakukan syirkat harus menyediakannya, walaupun dalam jumlah yang tidak sama. Nilai partisipasi uang ini (hanya dalam dinar emas atau dirham perak), secara proporsional, akan menjadi nilai saham masing-masing dalam syirkat yang dibentuknya.
Dengan keharusan semua mitra untuk terlibat dalam usaha model syirkat tidak memungkinkan adanya peluang perampasan hak milik seseorang oleh orang lain, seperti dalam sistem kapitalis, dengan formula one share one vote itu. Ada tiga hal pokok lain di dalam syirkat yang secara prinsipil membedakannya dari sistem kontrak bisnis kapitalistik.
Qirad atau Mudharabah
Dalam buku 32, dari kitab yang sama Al Muwatta, Imam Malik menyampaikan 16 butir riwayat yang mengatur berbagai hal tentang 'Pinjaman untuk Modal [Perdagangan]' (Qirad), tentang batasan, persyaratan, yang dibolehkan dan larangan, utang-piutang, sampai tentang pembayaran terkait dengan kontrak qirad. Bila disarikan intinya adalah sebagai berikut:
Kondisi-kondisi kontrak qirad adalah sbb:
Bila syirkat menghidupkan satuan-satuan produksi otonom berbentuk gilda-gilda, maka qirad menghidupkan kembali para pedagang, yang secara kolektif disebut karavan atau kabilah. Pengertian qirad sebagai kontrak bisnis yang secara khusus dipergunakan untuk perdagangan ini sangat penting dipahami secara benar. Sebab, saat ini istilah qirad atau mudharabah, telah dipakai untuk sesuatu kegiatan yang berbeda dari perdagangan, dengan asal mengambil prinsip 'bagi hasil', misalnya di dunia perbankan syariah dan turunannya (Bank Perkreditan Rakyat Syariah dan Baitul Mal Wa Tamwil).
Ada juga penyimpangan lain yang dilakukan sementara pihak yang mengklaim menjalankan kontrak qirad, tetapi yang dilakukan sebenarnya adalah perdagangan uang. Praktek yang dilakukan adalah satu pihak memposisikan dirinya sebagai 'mudharib' dan meminta pihak lain, dalam hal ini pemilik dinar, sebagai sahibul mal. Sampai di sini seolah tak ada masalah dengan kontrak ini, seandainya dinar yang dipinjamkan kepada mudharib tadi merupakan modal perdagangan untuk suatu komoditi tertentu. Misalnya disepakati untuk berdagang jagung atau mobil, dengan kesepakatan bila perdagangan jagung atau mobil tersebut menghasilkan surplus, dibagi sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Tetapi, bentuk penyimpangan yang terjadi adalah, koin-koin dinar itulah yang dijadikan komoditi untuk diperdagangkan. Surplus yang diperolehnya, dalam bentuk uang kertas tentunya atau bahkan dalam bentuk dinar pula, kemudian 'dibagihasilkan' menurut kesepakatan tertentu.
Dengan demikian sangat jelas bedanya: dinar sebagai modal perdagangan suatu komoditi dengan dinar sebagai komoditi yang diperdagangkan. Yang pertama adalah qirad, yang kedua adalah perdagangan uang.
Memahami Syirkat dan Qirad
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Kekurangpahaman tentang qirad (mudharabah) dan syirkat dapat menjerumuskan kita kepada praktek riba. Tulisan ini menjawab pertanyaan dari berbagai pihak mengenai hal ini.
A. Syirkat
Syirkat adalah kemitraan dua atau lebih orang yang secara bersama-sama menjalankan suatu usaha, khususnya usaha produksi sekunder (bukan produksi primer seperti pertanian dan peternakan). Dalam kitab Al Muwatta, Buku 35 tentang [Hak] Pemilikan Lebih Dahulu [Syufah] atas Barang, Imam Malik menyampaikan empat riwayat terkait dengan perkongsian usaha ini. Dalam syirkat ketersediaan modal tidak selalu dipersyaratkan. Tapi, bila ada modal yang dilibatkan, maka semua orang yang bermaksud melakukan syirkat harus menyediakannya, walaupun dalam jumlah yang tidak sama. Nilai partisipasi uang ini (hanya dalam dinar emas atau dirham perak), secara proporsional, akan menjadi nilai saham masing-masing dalam syirkat yang dibentuknya.
Dengan keharusan semua mitra untuk terlibat dalam usaha model syirkat tidak memungkinkan adanya peluang perampasan hak milik seseorang oleh orang lain, seperti dalam sistem kapitalis, dengan formula one share one vote itu. Ada tiga hal pokok lain di dalam syirkat yang secara prinsipil membedakannya dari sistem kontrak bisnis kapitalistik.
- Pertama, syirkat tidak mengenal hak mayoritas. Semua mitra dalam suatu syirkat memiliki hak kontraktual yang sepenuhnya sama terlepas dari nilai saham atau jumlah modal yang disetorkannya.
- Kedua, dalam syirkat tidak dikenal istilah laba, apalagi deviden, yang dibagikan pada setiap akhir tahun. Yang ada di dalam syirkat adalah pemilikan aset secara bersama, proporsional menurut saham yang disetorkan, dan setiap mitra berhak untuk meminta dilakukannya likuidasi atas aset bersama tersebut di setiap saat.
- Ketiga, dalam syirkat, bila salah satu mitra meninggal dunia maka kontrak syirkat dengan sendirinya berakhir, tidak dapat diwariskan sebagaimana saham dalam perusahaan kapitalis.
Qirad atau Mudharabah
Dalam buku 32, dari kitab yang sama Al Muwatta, Imam Malik menyampaikan 16 butir riwayat yang mengatur berbagai hal tentang 'Pinjaman untuk Modal [Perdagangan]' (Qirad), tentang batasan, persyaratan, yang dibolehkan dan larangan, utang-piutang, sampai tentang pembayaran terkait dengan kontrak qirad. Bila disarikan intinya adalah sebagai berikut:
- Qirad adalah kontrak kerjasama dagang antara dua pihak: yang satu adalah pemilik modal dan yang lain adalah pemilik tenaga yang akan bertindak sebagai Agen bagi pihak pertama.
- Pihak kedua menerima modal dari pihak pertama sebagai pinjaman dan akan membagikan keuntungan yang diperoleh dari usaha dagang yang menggunakan modal dari pihak pertama tersebut.
Kondisi-kondisi kontrak qirad adalah sbb:
- Kontrak diawali dan diakhiri dalam bentuk tunai (Dinar Emas atau Dirham Perak), tidak dalam bentuk komoditas.
- Keuntungan dari usaha, bila diperoleh, dibagi berdasarkan proporsi yang disepakati sejak awal dan dituangkan dalam kontrak, misalnya 50:50 atau 45:55
- Kerugian dagang, bila terjadi, sepenuhnya (100%) ditanggung oleh pemilik modal. Tetapi kerugian yang ditimbulkan karena Agen menyimpang dari perjanjian, atau nilainya melebihi jumlah uang yang diperjanjikan, menjadi tanggungan pihak Agen.
- Kontrak tidak mensyaratkan suatu garansi apa pun dari pihak Agen kepada pemilik modal akan sukses atau tidaknya usaha bersangkutan.
- Tidak ada pembatasan kontrak atas dasar waktu tertentu, melainkan berdasarkan suatu siklus usaha.
- Keuntungan usaha tidak boleh digunakan oleh pihak Agen sampai semua milik investor telah dibayarkan.
Bila syirkat menghidupkan satuan-satuan produksi otonom berbentuk gilda-gilda, maka qirad menghidupkan kembali para pedagang, yang secara kolektif disebut karavan atau kabilah. Pengertian qirad sebagai kontrak bisnis yang secara khusus dipergunakan untuk perdagangan ini sangat penting dipahami secara benar. Sebab, saat ini istilah qirad atau mudharabah, telah dipakai untuk sesuatu kegiatan yang berbeda dari perdagangan, dengan asal mengambil prinsip 'bagi hasil', misalnya di dunia perbankan syariah dan turunannya (Bank Perkreditan Rakyat Syariah dan Baitul Mal Wa Tamwil).
Ada juga penyimpangan lain yang dilakukan sementara pihak yang mengklaim menjalankan kontrak qirad, tetapi yang dilakukan sebenarnya adalah perdagangan uang. Praktek yang dilakukan adalah satu pihak memposisikan dirinya sebagai 'mudharib' dan meminta pihak lain, dalam hal ini pemilik dinar, sebagai sahibul mal. Sampai di sini seolah tak ada masalah dengan kontrak ini, seandainya dinar yang dipinjamkan kepada mudharib tadi merupakan modal perdagangan untuk suatu komoditi tertentu. Misalnya disepakati untuk berdagang jagung atau mobil, dengan kesepakatan bila perdagangan jagung atau mobil tersebut menghasilkan surplus, dibagi sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Tetapi, bentuk penyimpangan yang terjadi adalah, koin-koin dinar itulah yang dijadikan komoditi untuk diperdagangkan. Surplus yang diperolehnya, dalam bentuk uang kertas tentunya atau bahkan dalam bentuk dinar pula, kemudian 'dibagihasilkan' menurut kesepakatan tertentu.
Dengan demikian sangat jelas bedanya: dinar sebagai modal perdagangan suatu komoditi dengan dinar sebagai komoditi yang diperdagangkan. Yang pertama adalah qirad, yang kedua adalah perdagangan uang.